Selasa, 01 Desember 2009

WANITA PENGHUNI NERAKA

Wanita Penghuni Neraka

Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.

Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.

Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.

Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)

Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”


Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)

Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya yang juga menjelaskan keadaan neraka dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.

Kedahsyatan dan kengerian neraka juga dinyatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya beliau bersabda :
“Api kalian yang dinyalakan oleh anak cucu Adam ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian neraka Jahanam.” (Shahihul Jami’ 6618)

Jikalau api dunia saja dapat menghanguskan tubuh kita, bagaimana dengan api neraka yang panasnya 69 kali lipat dibanding panas api dunia? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.


Wanita Penghuni Neraka

Tentang hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)

Hadits ini menjelaskan kepada kita apa yang disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang penduduk Surga yang mayoritasnya adalah fuqara (para fakir miskin) dan neraka yang mayoritas penduduknya adalah wanita. Tetapi hadits ini tidak menjelaskan sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke dalam neraka dan menjadi mayoritas penduduknya, namun disebutkan dalam hadits lainnya.

Di dalam kisah gerhana matahari yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang , beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.
Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radliyallahu 'anhum : “ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :
“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya : “Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal.

Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)

Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.

Saudariku Muslimah … . Hindarilah sebab-sebab ini semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.


1. Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini pada sabda beliau di atas tadi. Kekufuran model ini terlalu banyak kita dapati di tengah keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yagn mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri sebagaimana kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari.

Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan sang suami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat istri model begini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :

“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)

Hadits di atas adalah peringatan keras bagi para wanita Mukminah yang menginginkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.

Jika demikian keadaannya maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.

Cukup kiranya istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum Mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.

2. Durhaka Terhadap Suami

Kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :

1. Durhaka dengan ucapan.

2. Durhaka dengan perbuatan.

3. Durhaka dengan ucapan dan perbuatan.

Bentuk pertama ialah seorang istri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang istri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.

Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang istri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang diperbolehkan syar’i. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan dengan maksud untuk menjelekkannya dan merusak kehormatannya sehingga nama suaminya jelek di mata orang lain. Bentuk serupa adalah apabila seorang istri meminta di thalaq atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mengaku-aku telah dianiaya atau didhalimi suaminya atau yang semisal dengan itu.

Permintaan cerai biasanya diawali dengan pertengkaran antara suami dan istri karena ketidakpuasan sang istri terhadap kebaikan dan usaha sang suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh jelek apa yang dilakukan istri seperti ini terhadap suaminya. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i, pent.) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi serta selain keduanya. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 85)

Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para istri terjadi dalam hal perbuatan yaitu ketika seorang istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang semisal dengan itu.

Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang istri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Yang demikian seakan-akan seorang istri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’i. Demikian pula jika sang istri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang semisal dengan itu.

Bentuk lain adalah apabila seorang istri tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, melakukan puasa sunnah tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, mandi janabat, atau puasa Ramadlan.

Maka setiap istri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah istri yang durhaka terhadap suami dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang istri maka ia dikatakan sebagai istri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya. (Dinukil dari kitab An Nusyuz karya Dr. Shaleh bin Ghanim As Sadlan halaman 23-25 dengan beberapa tambahan)

Sungguh merugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.

Ketahuilah wahai saudariku Muslimah, jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya.

Ketahuilah pula bahwa jalan menuju neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sadarlah bahwa neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.

Hanya wanita yang bijaksanalah yang mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya. Ia mengerti nasib di akhirat dan bukan kesengsaraan di dunia yang ia takuti dan tangisi.

3. Tabarruj



Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)

Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang dikarenakan minimnya pakaian mereka dan tipisnya bahan kain yang dipakainya. Yang demikian ini sesuai dengan komentar Ibnul ‘Abdil Barr rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut.
Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan :
“Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang membentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103 )

Mereka adalah wanita-wanita yang hobi menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hal ini dalam firman-Nya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An Nur : 31)


Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan di dalam kitab Al Kabair halaman 131 : “Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang ada di dalam niqab (tutup muka/kerudung) mereka, memakai minyak wangi dengan misik dan yang semisalnya jika mereka keluar rumah … .”



Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka secara tidak langsung menyeret kaum pria ke dalam neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoyahkan keimanan yang kokoh sekalipun. Terlebih bagi iman yang lemah yang tidak dibentengi dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan di dalam hadits yang shahih bahwa fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum pria adalah fitnahnya wanita.

Sejarah sudah berbicara bahwa betapa banyak tokoh-tokoh legendaris dunia yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hancur karirnya hanya disebabkan bujuk rayu wanita.

Dan berapa banyak persaudaraan di antara kaum Mukminin terputus hanya dikarenakan wanita. Berapa banyak seorang anak tega dan menelantarkan ibunya demi mencari cinta seorang wanita, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat membuktikan bahwa wanita model mereka ini memang pantas untuk tidak mendapatkan wanginya Surga.

Hanya dengan ucapan dan rayuan seorang wanita mampu menjerumuskan kaum pria ke dalam lembah dosa dan hina terlebih lagi jika mereka bersolek dan menampakkan di hadapan kaum pria. Tidak mengherankan lagi jika di sana-sini terjadi pelecehan terhadap kaum wanita, karena yang demikian adalah hasil perbuatan mereka sendiri.


Wahai saudariku Muslimah … . Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islamy yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan adzab di akhirat kelak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al Ahzab : 33)
Masih banyak sebab-sebab lainnya yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Tetapi kami hanya mencukupkan tiga sebab ini saja karena memang tiga model inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat negeri kita ini.

Saudariku Muslimah … .

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka. Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda : “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)


Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin.

Wallahu A’lam bish Shawwab. (Dikutip dari tulisan Muhammad Faizal Ibnu Jamil, Judul asli Wanita Penghuni Neraka, MUSLIMAH/Edisi XXII/1418/1997/Kajian Kali Ini. Url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/nar.htm)

WANITA AHLI SURGA

Wanita Ahli Surga

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :
1.Bertakwa.
2.Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
3.Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
4.Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
5.Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
6.Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
7.Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
8.Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
9.Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
10.Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
11.Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.
12.Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
13.Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
14.Berbakti kepada kedua orang tua.
15.Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).


(Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini)

NO DISKRIMINASI

Tidak Boleh Ada Pertentangan Lantaran Nasab dan Warna Kulit
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal al-Habasyi saling bercaci-maki sampai memuncak kemarahannya. Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai anaknya perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Nabi. Maka kata Nabi kepada Abu Dzar:
"Hai Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang yang masih diliputi perasaan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepadanya: 'Lihatlah, sesungguhnya engkau tidak lebih baik daripada orang yang berkulit merah dan tidak pula lebih dari orang yang berkulit hitam, melainkan kamu lebihkan dirimu dengan taqwalah.' (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
''Semua kamu keturunan Adam, sedang Adam dicipta dari tanah." (Riwayat Bazzar)
Dengan demikian, Islam mengharamkan setiap muslim berjalan mengikuti perasaan jahiliah, dalam persoalan menyombongkan diri karena nasab dan keturunan, karena ayah dan datuk. Seperti apa yang biasa dikatakan oleh satu sama lain: saya anak si anu, saya keturunan anu, sedang engkau asal dari keturunan anu. Saya berkulit putih sedang engkau hitam. Saya orang Arab sedang engkau bukan orang Arab.
Apa nilai keturunan ini kalau mereka itu semua juga berasal dari satu keturunan? Misalkan nasab itu mempunyai nilai, tetapi apa kelebihan seseorang atau apa pula dosanya kalau dia berasal dari keturunan ayah ini dan ayah itu?
Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu semua adalah anak-cucu Adam ... Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain, melainkan karena agama dan taqwanya ..." (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
"Manusia seluruhnya berasal dari Adam dan Hawa. Sedang Allah tidak menanyaimu tentang keturunanmu dan nasabmu nanti pada hari kiamat; sesungguhnya semulia-mulia kamu di hadapan Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu." (Riwayat Ibnu Jarir)
Rasulullah s.a.w. telah menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang menyombongkan diri lantaran ayah dan datuk-datuknya, dengan ungkapan yang tajam dan menggetarkan hati. Beliau mengatakan:
"Hendaklah orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya; Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya lantaran ayah. Seseorang ada yang beriman dan bertaqwa, dan ada juga yang durhaka dan celaka; manusia seluruhnya anak-cucu Adam, sedang Adam dibuat dari tanah." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Hadis ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang yang menganggap besar lantaran nenek-moyangnya dulu adalah keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka jahanam, seperti penegasan Rasulullah s.a.w. di atas.
Dalam Haji Wada' yang dihadiri oleh beribu-ribu manusia yang ingin mendengarkan tentang Islam di bulan haram dan di tanah haram, Rasulullah s.a.w. pernah menyampaikan pidatonya yang dikenal dengan Khuthbatul Wada' (khutbah perpisahan). Dalam khutbah itu Rasulullah menegaskan beberapa prinsip, yang bunyinya sebagai berikut:
"Hai ummat manusia! Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah satu. Ingatlah! Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang lain Arab; tidak pula ada kelebihan bagi orang lain Arab atas orang Arab; tidak juga ada kelebihan orang yang berkulit merah atas orang kulit hitam; dan tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit merah, melainkan lantaran taqwa, sebab sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling bertaqwa kepada Allah." (Riwayat Baihaqi)

TAK ADA PEMBUJANGAN DALAM ISLAM

TIDAK ADA PEMBUJANGAN DALAM ISLAM

ISLAM berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Nabi memperhatikan, bahwa sebagian sahabatnya ada yang kena pengaruh kependetaan ini (tidak mau kawin). Untuk itu maka beliau menerangkan, bahwa sikap semacam itu adalah menentang ajaran Islam dan menyimpang dari sunnah Nabi. Justru itu pula, fikiran-fikiran Kristen semacam ini harus diusir jauh-jauh dari masyarakat Islam.

Abu Qilabah mengatakan:
"Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata: 'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.'"
Kemudian turunlah ayat:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas." (al-Maidah: 87)
-- (Riwayat Abdul Razzaq, Ibnu Jarir dan al-Mundziri)

Mujahid berkata: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.6

"Ada satu golongan sahabat yang datang ke tempat Nabi untuk menanyakan kepada isteri-isterinya tentang ibadahnya. Setelah mereka diberitahu, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain: di mana kita dilihat dari pribadi Rasulullah s.a.w. sedang dia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang? Salah seorang di antara mereka berkata: Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka. Yang kedua mengatakan: Saya akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga berkata: Saya akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Nabi s.a.w. ia menjelaskan tentang kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan ia bersabda: 'Saya adalah orang yang kenal Allah dan yang paling takut kepadaNya, namun tokh saya bangun malam, juga tidak, saya berpuasa, juga berbuka, dan saya juga kawin dengan perempuan. Oleh karena itu barangsiapa tidak suka kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.'" (Riwayat Bukhari)

Said bin Abu Waqqash berkata:
"Rasulullah s.a.w. menentang Usman bin Madh'un tentang rencananya untuk membujang. Seandainya beliau mengizinkan, niscaya kamu akan berkebiri." (Riwayat Bukhari)

Dan Rasulullah juga menyerukan kepada para pemuda keseluruhannya supaya kawin, dengan sabdanya sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah; karena dia itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (Riwayat Bukhari)

Dari sini, sebagian ulama ada yang berpendapat: bahwa kawin itu wajib hukumnya bagi setiap muslim, tidak boleh ditinggalkan selama dia mampu.
Sementara ada juga yang memberikan pembatasan --wajib hukumnya-- bagi orang yang sudah ada keinginan untuk kawin dan takut dirinya berbuat yang tidak baik.
Setiap muslim tidak boleh menghalang-halangi dirinya supaya tidak kawin karena kawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung yang berat terhadap keluarganya. Tetapi dia harus berusaha dan bekerja serta mencari anugerah Allah yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang sudah kawin itu demi menjaga kehormatan dirinya.

Janji Allah itu dinyatakan dalam firmanNya sebagai berikut:
"Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin) dan orang-orang yang sudah patut kawin dari hamba-hambamu yang laki-laki ataupun hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerahNya." (an-Nur 32)




Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Ada tiga golongan yang sudah pasti akan ditolong Allah, yaitu: (1) Orang yang kawin dengan maksud untuk menjaga kehormatan diri; (2) seorang hamba mukatab7 yang berniat akan menunaikan; dan (3) seorang yang berperang di jalan Allah." (Riwayat Ahmad, Nasa'i, Tarmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

TAK ADA PEMBUJANGAN DALAM ISLAM

TIDAK ADA PEMBUJANGAN DALAM ISLAM

ISLAM berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Nabi memperhatikan, bahwa sebagian sahabatnya ada yang kena pengaruh kependetaan ini (tidak mau kawin). Untuk itu maka beliau menerangkan, bahwa sikap semacam itu adalah menentang ajaran Islam dan menyimpang dari sunnah Nabi. Justru itu pula, fikiran-fikiran Kristen semacam ini harus diusir jauh-jauh dari masyarakat Islam.

Abu Qilabah mengatakan:
"Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata: 'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.'"
Kemudian turunlah ayat:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas." (al-Maidah: 87)
-- (Riwayat Abdul Razzaq, Ibnu Jarir dan al-Mundziri)

Mujahid berkata: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.6

"Ada satu golongan sahabat yang datang ke tempat Nabi untuk menanyakan kepada isteri-isterinya tentang ibadahnya. Setelah mereka diberitahu, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain: di mana kita dilihat dari pribadi Rasulullah s.a.w. sedang dia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang? Salah seorang di antara mereka berkata: Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka. Yang kedua mengatakan: Saya akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga berkata: Saya akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Nabi s.a.w. ia menjelaskan tentang kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan ia bersabda: 'Saya adalah orang yang kenal Allah dan yang paling takut kepadaNya, namun tokh saya bangun malam, juga tidak, saya berpuasa, juga berbuka, dan saya juga kawin dengan perempuan. Oleh karena itu barangsiapa tidak suka kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.'" (Riwayat Bukhari)

Said bin Abu Waqqash berkata:
"Rasulullah s.a.w. menentang Usman bin Madh'un tentang rencananya untuk membujang. Seandainya beliau mengizinkan, niscaya kamu akan berkebiri." (Riwayat Bukhari)

Dan Rasulullah juga menyerukan kepada para pemuda keseluruhannya supaya kawin, dengan sabdanya sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah; karena dia itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (Riwayat Bukhari)

Dari sini, sebagian ulama ada yang berpendapat: bahwa kawin itu wajib hukumnya bagi setiap muslim, tidak boleh ditinggalkan selama dia mampu.
Sementara ada juga yang memberikan pembatasan --wajib hukumnya-- bagi orang yang sudah ada keinginan untuk kawin dan takut dirinya berbuat yang tidak baik.
Setiap muslim tidak boleh menghalang-halangi dirinya supaya tidak kawin karena kawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung yang berat terhadap keluarganya. Tetapi dia harus berusaha dan bekerja serta mencari anugerah Allah yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang sudah kawin itu demi menjaga kehormatan dirinya.

Janji Allah itu dinyatakan dalam firmanNya sebagai berikut:
"Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin) dan orang-orang yang sudah patut kawin dari hamba-hambamu yang laki-laki ataupun hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerahNya." (an-Nur 32)




Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Ada tiga golongan yang sudah pasti akan ditolong Allah, yaitu: (1) Orang yang kawin dengan maksud untuk menjaga kehormatan diri; (2) seorang hamba mukatab7 yang berniat akan menunaikan; dan (3) seorang yang berperang di jalan Allah." (Riwayat Ahmad, Nasa'i, Tarmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

TAK ADA ASHABIYAH

Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam
Pertama kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan ini, yaitu: Islam tidak mengakui ashabiyah dengan segala macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin menghidup-hidupkan setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada ashabiyah.
Rasulullah sendiri telah mengumandangkan pernyataan, bahwa orang yang berbuat demikian tidak akan diakui sebagai ummatnya.
Sabda Nabi:
"Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah." (Riwayat Abu Daud)
Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta'asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain.
Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta'asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan.
Wailah bin al-Asqa' pernah bertanya kepada Rasulullah: "Apakah yang disebut ashabiyah itu?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu membela golonganmu pada kezaliman." (Riwayat Abu Daud)
Dan Allah telah juga berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena Allah sekalipun terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang tua dan kerabatmu." (an-Nisa': 135)
"Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil." (al-Maidah: 8)
Rasulullah menterjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah sangat popular di kalangan orang jahiliah dan diartikan menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
"Tolonglah saudaramu yang menganiaya ataupun yang dianiaya."
Setelah Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada para sahabatnya yang sesudah lebih dahulu meresapkan iman ke dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan oleh Rasulullah itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:
"Ya Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara kami yang dizalimi, tetapi bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat zalim?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu berarti suatu pertolongan buat dia." (Riwayat Bukhari)
Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh al-Quran.
Islam samasekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang di luar kepercayaan Islam. Tidak juga mengakui setiap perserikatan yang bukan ukhuwah Islamiah. Dan tidak pula mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain ciri iman dan kafir. Oleh karena itu setiap orang kafir yang menentang Islam adalah musuh orang Islam kendati dia bertetangga dan salah seorang dari anggota keluarga, bahkan kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah berfirman:
"Kamu tidak dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menaruh cinta kepada orang yang ingkar kepada Allah dan Rasulnya sekalipun mereka yang ingkar itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka." (al-Mujadalah: 22)
Dan firmanNya pula:
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan ayah-ayah kamu dan saudara-saudara kamu sebagai kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufur daripada beriman." (at-Taubah: 23)

TENTANG HIBURAN

Tentang Hiburan
ISLAM adalah agama realis, tidak tenggelam dalam dunia khayal dan lamunan. Tetapi Islam berjalan bersama manusia di atas dunia realita dan alam kenyataan.
Islam tidak memperlakukan manusia sebagai Malaikat yang bersayap dua, tiga dan empat. Tetapi Islam memperlakukan manusia sebagai manusia yang suka makan dan berjalan di pasar-pasar.
Justru itu Islam tidak mengharuskan manusia supaya dalam seluruh percakapannya itu berupa zikir, diamnya itu berarti berfikir, seluruh pendengarannya hanya kepada al-Quran dan seluruh senggangnya harus di masjid.
Islam mengakui fitrah dan instink manusia sebagai makhluk yang dicipta Allah, di mana Allah membuat mereka sebagai makhluk yang suka bergembira, bersenang-senang, ketawa dan bermain-main, sebagaimana mereka dicipta suka makan dan minum.
Sekedarnya Saja
Meningkatnya rohani sebagian para sahabat, telah mencapai puncak di mana mereka beranggapan, bahwa kesungguhan yang membulat dan ketekunan beribadah, haruslah menjadi adat kebiasaannya sehingga mereka harus memalingkan dari kenikmatan hidup dan keindahan dunia, tidak bergembira dan tidak bermain-main. Bahkan seluruh pandangannya dan fikirannya hanya tertuju kepada akhirat melulu dengan seluruh isinya, serta jauh dari dunia dengan keindahannya.
Marilah kita dengarkan kisah seorang sahabat yang mulia, namanya Handhalah al-Asidi, dia termasuk salah seorang penulis Nabi. Ia menceriterakan tentang dirinya kepada kita sebagai berikut. Satu ketika aku bertemu Abubakar, kemudian terjadilah suatu dialog:
Abubakar : Apa kabar, ya Handhalah?
Aku : Handhalah berbuat nifaq!
Abubakar : Subhanallah, apa katamu?
Aku : Bagaimana tidak! Aku selalu bersama Rasulullah s.a.w., ia menuturkan kepadaku tentang Neraka dan Sorga yang seolah-olah Sorga dan Neraka itu saya lihat dengan mata-kepalaku. Tetapi setelah saya keluar dari tempat Rasulullah s.a.w., kemudian saya bermain-main dengan isteri dan anak-anak saya dan bergelimang dalam pekerjaan, maka saya sering lupa tutur Nabi itu!
Abubakar : Demi Allah, saya juga berbuat demikian!
Aku : Kemudian saya bersama Abubakar pergi ke tempat Rasulullah s.a.w.
Kepadanya, saya katakan: Handhalah nifaq, ya Rasulullah!
Rasulullah : Apa!?
Aku : Ya Rasulullah! Begini ceritanya: saya selalu bersamamu. Engkau ceritakan kepada saya tentang Neraka dan Sorga, sehingga seolah-olah saya dapat melihat dengan mata-kepala. Tetapi apabila saya sudah keluar dari sisimu, saya bertemu dengan isteri dan anak-anak serta sibuk dalam pekerjaan, saya banyak lupa!
Kemudian Rasulullah s.a.w, bersabda:
"Demi Zat yang diriku dalam kekuasaannya! Sesungguhnya andaikata kamu disiplin terhadap apa yang pernah kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun dalam zikir, niscaya Malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Tetapi hai Handhalah, saa'atan, saa'atan! (berguraulah sekedarnya saja!). Diulanginya ucapan itu sampai tiga kali." (Riwayat Muslim)
Rasulullah s.a.w. adalah Manusia
Kehidupan Rasulullah s.a.w. merupakan contoh yang baik bagi manusia. Dalam khulwatnya ia melakukan sembahyang dengan khusyu', menangis dan lama berdiri sehingga kedua kakinya bengkak. Dalam masalah kebenaran ia tidak mempedulikan seseorang, demi mencari keridhaan Allah. Tetapi dalam kehidupannya dan perhubungannya dengan orang lain, dia adalah manusia biasa yang sangat cinta kepada kebaikan, wajahnya berseri-seri dan tersenyum, bergembira dan bermain-main, dan tidak mau berkata kecuali yang hak.
Ia sangat cinta kepada kegembiraan dan apa saja yang dapat membawa kepada kegembiraan itu. Ia tidak suka susah dan apa saja yang membawa kesusahan, seperti berhutang dan hal-hal yang menyebabkan orang bisa payah; dan selalu minta perlindungan kepada Allah dari perbuatan yang tidak baik.
Dalam doanya itu ia mengatakan:
"Ya Tuhanku! Sesungyuhnya aku minta perlindungan kepadaMu dari duka dan susah." (Riwayat Abu Daud)
Dalam salah satu riwayat diceriterakan tentang berguraunya dengan seorang perempuan tua, yaitu: ada seorang tua masuk rumah Nabi minta agar Nabi mendoakannya supaya ia masuk sorga. Maka jawab Nabi: "Sorga tidak dapat menerima orang tua!!!"
Mendengar jawaban itu si perempuan tua tersebut menangis tersedu-sedu karena beranggapan, bahwa ia tidak akan masuk sorga.
Setelah Rasulullah s.a.w. melihat keadaan si perempuan tersebut, kemudian ia menerangkan maksud dari omongannya itu, yaitu: "Bahwa seorang tua tidak akan masuk sorga dengan keadaan tua bangka, bahkan akan dirubah bentuknya oleh Allah dalam bentuk lain, sehingga dia akan masuk sorga dalam keadaan masih muda belia. Kemudian ia membacakan ayat:
"Sesungguhnya Kami ciptakan mereka itu dalam ciptaan yang lain, maka kami jadikan mereka itu perawan-perawan, yang menyenangkan dan sebaya."25 (al-Waqi'ah: 35-37)
Hati Itu Bisa Bosan
Begitu juga para sahabatnya yang baik-baik itu, mereka biasa bergurau, ketawa, bermain-main dan berkata yang ganjil-ganjil, karena mereka mengetahui akan kebutuhan jiwanya dan ingin memenuhi panggilan fitrah serta hendak memberikan hak hati untuk beristirahat dan bergembira, agar dapat melangsungkan perjalanannya dalam menyusuri aktivitasnya. Sebab aktivitas hidupnya itu masih panjang.
Ali bin Abu Talib pernah berkata: "Sesungguhnya hati itu bisa bosan seperti badan. Oleh karena itu carilah segi-segi kebijaksanaan demi kepentingan hati."
Dan katanya pula: "Istirahatkanlah hatimu sekedarnya, sebab hati itu apabila tidak suka, bisa buta."
Abu Darda' pun berkata juga: "Sungguh hatiku akan kuisi dengan sesuatu yang kosong, supaya lebih dapat membantu untuk menegakkan yang hak."
Oleh karena itu, tidak salah kalau seorang muslim bergurau dan bermain-main yang kiranya dapat melapangkan hati. Tidak juga salah kalau seorang muslim menghibur dirinya dan rekan-rekannya dengan suatu hiburan yang mubah, dengan syarat kiranya hiburannya itu tidak menjadi kebiasaan dan perangai dalam seluruh waktunya, yaitu setiap pagi dan petang selalu dipenuhi dengan hiburan, sehingga dapat melupakan kewajiban dan melemahkan aktivitasnya. Maka tepatlah pepatah yang mengatakan: "Campurlah pembicaraan itu dengan sedikit bermain-main, seperti makanan yang dicampur dengan sedikit garam."
Dalam bermain-main itu, seorang muslim tidak diperkenankan menjadikan harga diri dan identitas seseorang sebagai sasaran permainannya. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satu kaum merendahkan kaum lain sebab barangkali mereka (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka (yang merendahkan)." (al-Hujurat: 11)
Tidak juga diperkenankan dalam berguraunya itu untuk ditertawakan orang lain, dengan menjadikan kedustaan sebagai wasilah. Sebab Rasulullah telah memperingatkan dengan sabdanya sebagai berikut:
"Celakalah orang yang beromong suatu omongan supaya ditertawakan orang lain, kemudian dia berdusta. Celakalah dia! Celakalah dia!" (Riwayat Tarmizi)
Macam-Macam Hiburan yang Halal
Ada beberapa macam permainan dan seni hiburan yang disyariatkan Rasulullah s.a.w, untuk kaum muslimin, guna memberikan kegembiraan dan hiburan mereka. Di mana hiburan itu sendiri dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi ibadah dan melaksanakan kewajiban dan lebih banyak mendatangkan ketangkasan dan keinginan.
Hiburan-hiburan tersebut kebanyakannya bentuk suatu latihan yang dapat mendidik mereka kepada manusia berjiwa kuat, dan mempersiapkan mereka untuk maju ke medan jihad fi sabilillah.
Di antara hiburan-hiburan itu ialah sebagai berikut:
Perlombaan Lari Cepat
Para sahabat dulu biasa mengadakan perlombaan lari cepat, sedang Nabi sendiri membolehkannya. Ali adalah salah seorang yang paling cepat.
Rasulullah s.a.w. sendiri mengadakan pertandingan dengan isterinya guna memberikan pendidikan kesederhanaan dan kesegaran serta mengajar kepada sahabat-sahabatnya.
Aisyah mengatakan:
"Rasulullah bertanding dengan saya dan saya menang. Kemudian saya berhenti, sehingga ketika badan saya menjadi gemuk, Rasulullah bertanding lagi dengan saya dan ia menang, kemudian ia bersabda: Kemenangan ini untuk kemenangan itu." (Riwayat Ahmad dan Abu Daud); yakni seri.
Gulat
Rasulullah s.a.w. pernah gulat dengan seorang laki-laki yang terkenal kuatnya, namanya Rukanah. Permainan ini dilakukan beberapa kali. (Riwayat Abu Daud).
Dalam satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. gulat dengan Rukanah yang terkenal kuatnya itu, kemudian ia berkata: domba lawan domba. Kemudian Nabi bergulat, dan ia berkata: berjanjilah dengan saya. untuk lain kali lagi, lantas Nabi bergulat, dan ia berkata: berjanjilah dengan saya, lantas Nabi bergulat untuk ketiga kalinya. Lantas seorang laki-laki itu bertanya: Apa yang harus saya katakan kepada keluargaku? Nabi menjawab: Katakan "domba telah dimakan oleh serigala, dan larilah domba." Kemudian apa pula yang aku katakan untuk yang ketiga? Nabi menjawab: Kami tidak dapat mengalahkan kamu untuk bergulat dengan kamu dan untuk mengalahkan kamu, karena itu ambillah hadiahmu."
Dari hadis ini ahli-ahli fiqih beristimbat hukum tentang dibenarkannya pertandingan lari cepat, baik dia itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau antara laki-laki dengan perempuan mahramnya atau dengan isteri-isterinya.
Dari hadis-hadis itu pula ulama fiqih berpendapat bahwa pertandingan lari cepat, gulat dan sebagainya tidak menghilangkan kekhusyukan, kehormatan, pengetahuan, keutamaan dan lanjutnya umur. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri waktu bergulat dengan Aisyah sudah berumur di atas 50 tahun.
Memanah
Di antara hiburan yang dibenarkan oleh syara' ialah bermain memanah dan perang-perangan. Sebab di satu saat Nabi pernah berjalan-jalan menjumpai sekelompok sahabatnya yang sedang mengadakan pertandingan memanah, maka waktu itu Rasulullah s.a.w. memberikan dorongan kepada mereka dengan sabdanya:
"Lemparkanlah panahmu itu, saya bersama kamu." (Riwayat Bukhari)
Pertandingan lempar panah itu bukan sekedar hobby atau sekedar bermain-main saja, tetapi salah satu bentuk daripada mempersiapkan kekuatan sebagai yang diperintah Allah dalam firmanNya:
"Dan bersiap-siaplah kamu untuk menghadapi mereka (musuh) dengan kekuatan yang kamu sanggup."
Dalam menafsirkan ayat ini Rasulullah bersabda:
"Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud 'kekuatan' itu ialah memanah - beliau ucapkan kata-kata itu tiga kali." (Riwayat Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Kamu harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu." (Riwayat Bazzar, dan Thabarani dengan sanad yang baik)
Namun begitu, Rasulullah s.a.w. memperingatkan para pemain agar tidak menjadikan binatang-binatang jinak dan sebagainya sebagai sasaran latihannya, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab jahiliah.
Abdullah bin Umar pernah melihat sekelompok manusia yang sedang berbuat demikian, kemudian Ibnu Umar mengatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran memanah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dilarangnya permainan seperti itu karena terdapat unsur-unsur penyiksaan terhadap binatang dan merenggut jiwa binatang serta memungkinkan untuk membuang-buang harta, Tidak benar kalau permainan manusia itu dengan mengorbankan makhluk hidup yang lain.
Justru itu pula Rasulullah s.a.w. melarang mengadu binatang seperti yang dilakukan orang-orang Arab dahulu, yaitu mereka membawa dua ekor domba atau sapi kemudian diadu sampai mati atau hampir mati. Lantas mereka senang dan tertawa.
Para ulama berkata: "Bahwa prinsip dilarangnya mengadu binatang, karena terdapatnya unsur menyakiti dan melumpuhkan binatang tanpa faedah, tetapi hanya sekedar bermain-main."
Main Anggar
Yang sama dengan permainan memanah, ialah main anggar.
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. telah memberi perkenan kepada orang-orang Habasyah (Ethiopia) bermain anggar di dalam Masjid Nabawi, dan ia pun memberi perkenan pula kepada Aisyah untuk menyaksikan permainan itu. Dan kepada para pemain Rasulullah mengatakan:
"Karena kamu (kami melihat), hai bani Arfidah."
Panggilan Bani Arfidah adalah suatu julukan yang biasa dipergunakan orang-orang Arab untuk memanggil penduduk Habasyah.
Umar, karena wataknya tidak suka bermain-main, maka dia bermaksud akan melarang orang-orang Habasyah yang sedang bermain itu, tetapi kemudian dilarang oleh Nabi. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata:
"Ketika orang-orang Habasyah sedang bermain anggar dihadapan Nabi, tiba-tiba Umar masuk, kemudian mengambil kerikil dan melemparkannya kepada mereka. Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada Umar.--biarkanlah mereka itu, hai Umar." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan suatu kelapangan dari Rasulullah s.a.w. dengan mengizinkan permainan seperti ini dilakukan di Masjidnya yang mulia itu, agar di dalam masjid dapat dipadukan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi; dan sebagai suatu pendidikan buat kaum muslimin, agar mereka suka bekerja di waktu bekerja dan bermain-main di waktu main-main. Di samping itu, bahwa permainan semacam ini bukan sekedar bermain-main saja, tetapi suatu permainan yang bermotif latihan.
Para ulama berkata setelah membawakan hadis ini sebagai berikut: "Bahwa masjid dibuat adalah demi kepentingan urusan kaum muslimin. Oleh karena itu apa saja yang kiranya bermanfaat untuk agama dan manusia, maka bolehlah dikerjakan di masjid."
Kiranya kaum muslimin di zaman-zaman terakhir ini mau memperhatikan, mengapa masjid-masjid mereka itu dikosongkan dari jiwa hidup dan kekuatan, dan dibiarkan sebagai tempat orang-orang apatis.
Pengarahan Nabi dalam mendidik dan memberikan hiburan hati isteri-isterinya, yaitu dengan memperkenankan permainan yang mubah seperti itu. Sehingga kata Aisyah:
"Sungguh saya saksikan Nabi membatas saya dengan selendangnya, sedang saya melihat orang-orang Habasyah itu bermain di dalam masjid, sehingga saya sendiri yang merasa bosan. Mereka itu lincah selincah gadis muda belia yang masih suka bermain." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Aisyah juga berkata:
"Saya pernah bermain-main dengan boneka perempuan di rumah Rasulullah s.a.w., bersama kawan-kawan saya perempuan yang juga bermain-main dengan saya; dan tatkala Rasulullah s.a.w. masuk, mereka itu bersembunyi, tetapi Rasulullah s.a.w. senang melihat mereka itu bersamaku, kemudian mereka bermain-main bersamaku lagi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4.3.4.5 Menunggang Kuda (Berpacu Kuda)
Allah s.w.t. berfirman:
"Kuda, keledai dan himar adalah supaya kamu naiki & sebagai perhiasan." (an-Nahl: 8)
Dan bersabda Rasulullah s.a.w.:
"Kuda itu diikat jambulnya untuk kebaikan." (Riwayat Bukhari)
Dan sabdanya pula:
"Lemparkanlah (panah) dan tunggangilah (kuda)." (Riwayat Muslim)
Dan sabdanya lagi:
"Tiap-tiap sesuatu yang bukan zikrullah berarti permainan dan kelalaian, kecuali empat perkara: (1) Seorang laki-laki berjalan antara dua sasaran (untuk memanah). (2) Seorang yang mendidik kudanya. (3) Bermain-mainnya seseorang dengan isterinya. (4) Belajar berenang." (Riwayat Thabarani)
Dan berkatalah Umar:
"Ajarlah anak-anakmu berenang dan memanah; dan perintahlah mereka supaya melompat di atas punggung kuda."
Ibnu Umar meriwayatkan.
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada pemerangnya." (Riwayat Ahmad)
Semua ini sebagai dorongan Nabi terhadap masalah pacuan kuda. Sebab berpacu kuda sebagaimana kami katakan di atas, adalah permainan, olahraga juga suatu latihan.
Anas pernah ditanya: apakah kamu pernah bertaruh di zaman Rasulullah s.a.w.? Apakah Rasulullah s.a.w. sendiri juga pernah bertaruh? Maka jawab Anas:
"Ya! Demi Allah, sungguh ia (Rasulullah s.a.w.) pernah bertaruh terhadap suatu kuda yang disebut sabhah (kuda pacuan), maka dia dapat mengalahkan orang lain, ia sangat tangkas dalam hal itu dan mengherankannya." (Riwayat Ahmad)
Taruhan yang dibenarkan, atau yang dimaksud di sini ialah suatu upah (hadiah) yang dikumpulkan bukan dari orang-orang yang berpacu saja atau dari salah satunya saja, tetapi dari orang-orang lainnya.
Adapun hadiah yang dikumpulkan dari masing-masing yang berpacu, kemudian siapa yang unggul itulah yang mengambilnya, maka hadiah semacam itu termasuk judi yang dilarang. Dan Nabi sendiri menamakan pacuan kuda semacam ini, yakni yang disediakan untuk berjudi, dinamakan Kuda Syaitan. Harganya adalah haram, makanannya haram dan menungganginya pun haram juga. (Riwayat Ahmad).
Dan ia bersabda:
"Kuda itu ada tiga macam: kuda Allah, kuda manusia dan kuda syaitan. Adapun kuda Allah ialah kuda yang disediakan untuk berperang di jalan Allah, maka makanannya, kotorannya, kencingnya dan apanya saja - mempunyai beberapa kebaikan. Adapun kuda syaitan, yaitu kuda yang dipakai untuk berjudi atau untuk dibuat pertaruhan, dan adapun kuda manusia, yaitu kuda yang diikat oleh manusia, ia mengharapkan perutnya (hasilnya), sebagai usaha untuk menutupi kebutuhannya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berburu
Hiburan/permainan yang bermanfaat; yang juga dibenarkan oleh Islam, ialah berburu.
Berburu itu sendiri pada hakikatnya adalah bersenang-senang, olahraga dan bekerja, baik dengan menggunakan alat seperti tombak dan panah, atau dengan melepaskan binatang berburu seperti anjing dan burung.
Tentang syarat dan tata-tertibnya telah kami sebutkan sesuai yang dituntut oleh Islam.
Islam tidak melarang berburu kecuali dalam dua hal:
a) Ketika ihram haji dan umrah. Sebab dalam keadaan demikian adalah dalam face damai secara menyeluruh, tidak boleh membunuh dan mengalirkan darah.
Firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu membunuh binatang buronan, padahal kamu sedang ihram." (al-Maidah: 95)
"Dan diharamkan atas kamu berburu binatang darat, selama kamu dalam keadaan ihram." (al-Maidah: 96)
b) Ketika berada di tanah haram Makkah, sebab tempat ini dijadikan Allah sebagai tempat perdamaian dan keamanan bagi semua makhluk hidup, yang berjalan di darat atau yang terbang di udara; ataupun tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tempat itu. Seperti apa yang ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya:
"Tidak boleh diburu binatang buronannya, dan tidak boleh dipotong pohon-pohonnya dan tidak boleh dicabut rumput-rumputnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Main Dadu
Seluruh permainan yang di dalamnya ada perjudian, hukumnya haram. Sedang apa yang dinamakan judi, yaitu semua permainan yang mengandung untung-rugi bagi si pemain. Dan itulah yang disebut maisir dalam al-Quran yang kemudian diikuti dengan menyebut: arak, berhala dan azlam.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Barangsiapa mengajak kawannya: mari berjudi! Maka hendaklah bersedekah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Maksudnya: bahwa semata-mata mengajak bermain judi sudah termasuk berdosa yang harus ditebus dengan sedekah. Di antaranya ialah permainan dadu yang apabila dibarengi dengan perjudian, maka hukumannya adalah haram, dengan kesepakatan para ulama.
Tetapi apabila tidak dibarengi dengan perjudian, maka sementara ulama ada yang memandang haram, dan sebagian lagi memandang makruh.
Alasan yang dipakai oleh yang mengharamkannya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Buraidah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa bermain dadu, maka seolah-olah dia mencelupkan tangannya dalam daging babi dan darahnya." (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa dari Rasulullah s.a.w. bahwa ia berkata:
"Barangsiapa bermain dadu, maka sungguh dia durhaka kepada Allah dan RasulNya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Malik)
Dua hadis tersebut cukup jelas dan bersifat umum, berlaku untuk semua orang yang bermain dadu, apakah dibarengi dengan judi ataupun tidak.
Tetapi asy-Syaukani meriwayatkan, bahwa Ibnu Mughaffal dan al-Musayyib membolehkan bermain dadu tanpa judi. Sedang kedua hadis tersebut diperuntukkan buat orang yang bermain dadu sambil berjudi.
Main Catur
Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur.
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram.
Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi s.a.w. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif).
Para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.
Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair.
Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.
Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:
1.Karena bermain catur, tidak boleh menunda-nunda sembahyang, sebab perbuatan yang paling bahaya ialah mencuri waktu.
2.Tidak boleh dicampuri perjudian.
3.Ketika bermain, lidah harus dijaga dari omong kotor, cabul dan omongan-omongan yang rendah.
Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.
Menyanyi dan Musik
Di antara hiburan yang dapat menghibur jiwa dan menenangkan hati serta mengenakkan telinga, ialah nyanyian. Hal ini dibolehkan oleh Islam, selama tidak dicampuri omong kotor, cabul dan yang kiranya dapat mengarah kepada perbuatan dosa. Dan tidak salah pula kalau disertainya dengan muzik yang tidak membangkitkan nafsu. Bahkan disunatkan dalam situasi gembira, guna melahirkan perasaan riang dan menghibur hati, seperti pada hari raya, perkawinan, kedatangan orang yang sudah lama tidak datang, saat walimah, aqiqah dan di waktu lahirnya seorang bayi.
Dalam hadis diterangkan:
"Dari Aisyah r.a, bahwa ketika dia menghantar pengantin perempuan ke tempat laki-laki Ansar, maka Nabi bertanya: Hai Aisyah! Apakah mereka ini disertai dengan suatu hiburan? Sebab orang-orang Ansar gemar sekali terhadap hiburan." (Riwayat Bukhari)
Dan diriwayatkan pula:
"Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Aisyah pernah mengawinkan salah seorang kerabatnya dengan Ansar, kemudian Rasulullah s.a.w. datang dan bertanya: Apakah akan kamu hadiahkan seorang gadis itu? Mereka menjawab: Betul! Rasulullah s.a.w. bertanya lagi. Apakah kamu kirim bersamanya orang yang akan menyanyi? Aisyah menjawab: Tidak! Kemudian Rasulllah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya orang-orang Ansar adalah suatu kaum yang merayu. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kamu kirim bersama dia itu seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamul" (Riwayat Ibnu Majah)
"Dan dari Aisyah r.a. sesungguhnya Abubakar pernah masuk kepadanya, sedang di sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (Idul Adha), sedang Nabi s.a.w. menutup wajahnya dengan pakaiannya, maka diusirlah dua gadis itu oleh Abubakar. Lantas Nabi membuka wajahnya dan berkata kepada Abubakar Biarkanlah mereka itu hai Abubakar, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Imam Ghazali dalam Ihya'nyasetelah membawakan beberapa hadis tentang bernyanyinya dua orang gadis itu, permainannya orang-orang Habasyah di dalam masjid Nabawi yang didukungnya oleh Nabi dengan kata-katanya: karena kamu, aku melihat hai Bani Arfidah, dan perkataan Nabi kepada Aisyah: engkau senang ya Aisyah melihat permainan ini; dan berdirinya Nabi bersama Aisyah sehingga dia sendiri yang bosan serta permainan Aisyah dengan boneka bersama kawan-kawannya itu, kemudian Ghazali berkata: Bahwa hadis-hadis ini semua tersebut dalam Bukhari dan Muslim dan merupakan nas yang tegas, bahwa nyanyian dan permainan, bukanlah haram. Dan dari situ juga menunjukkan dibolehkannya bermacam-macam permainan:
1.Bermain anggar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Habasyah.
2.Permainan boleh dilakukan di masjid.
3.Sabda Nabi kepada orang-orang Habasyah: karenamu aku melihat hai Bani Arfidah, adalah suatu perintah dan anjuran untuk bermain. Oleh karena itu bagaimana mungkin permainan itu diharamkannya?
4.Dilarangnya Abubakar dan Umar dengan alasan, bahwa hari itu adalah hari raya dan hari gembira, sedang bernyanyi adalah salah satu daripada jalan untuk bergembira.
5.Berdirinya Nabi yang begitu lama sambil menyaksikan dan mendengarkan nyanyian yang disetujui Aisyah, adalah cukup sebagai bukti, bahwa metode yang baik untuk menghaluskan budi perempuan dan anak-anak dengan cara menyaksikan permainan adalah lebih baik daripada kekasaran ruhud dan berkekurangan dalam suasana terhalang dan dihalang.
6.Perkataan Nabi kepada Aisyah yang didahului dengan kalimat bertanya: senangkah kamu untuk melihat?
7.Perkenan untuk menyanyi dan memukul rebana dari dua anak gadis itu dan seterusnya, seperti yang dituturkan al-Ghazali dalam Kitabus Sama' (fasal mendengar). Dan dari beberapa sahabat dan tabi'in diriwayatkan, bahwa mereka itu pernah mendengarkan nyanyian, sedang mereka tidak menganggapnya suatu perbuatan dosa.
Adapun hadis-hadis Nabi yang melarang nyanyian, semuanya ada cacat, tidak ada satupun yang selamat dari celaan oleh kalangan ahli hadis, seperti kata al-Qadhi Abubakar bin al-Arabi: "Tidak ada satupun hadis yang sah yang berhubungan dengan diharamkannya nyanyian."
Dan berkata pula Ibnu Hazm: "Semua hadis yang menerangkan tentang haramnya nyanyian adalah batil dan palsu."
Banyak sekali nyanyian-nyanyian dan muzik yang disertai dengan perbuatan berlebih-lebihan, minum-minum arak dan perbuatan-perbuatan haram. Itulah yang kemudian oleh ulama-ulama dianggapnya haram atau makruh.
Sebagian mereka ada yang ;nengatakan: bahwa sesungguhnya nyanyian itu termasuk lahwul hadis (omongan yang dapat melalaikan) sebagai yang dimaksud dalam firman Allah:
"Di antara manusia ada yang membeli omongan yang dapat melalaikan untuk menyesatkan (orang) dari jalan Allah tanpa disadari, dan dijadikannya sebaqai permainan. Mereka itu kelak akan mendapat siksaan yang hina." (Luqman: 6)
Ibnu Hazm berkata: "Ayat tersebut menyebutkan suatu sifat yang barangsiapa mengerjakannya bisa menjadi kafir tanpa diperselisihkan lagi, yaitu apabila dia menjadikan agama Allah sebagai permainan. Oleh karena itu jika dia membeli sebuah al-Quran untuk dijadikan ayat guna menyesatkan orang banyak dan dijadikannya sebagai permainan, maka jelas dia adalah kafir. Inilah yang dicela Allah s.w.t. Samasekali Allah tidak mencela orang-orang yang membeli lahwal hadis itu sendiri yang bisa dipakai untuk hiburan dan menggembirakan hati, bukan untuk menyesatkan orang dari jalan Allah."
Selanjutnya Ibnu Hazm menolak anggapan orang yang mengatakan; bahwa nyanyian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, dan termasuk suatu kesesatan, seperti firman Allah.
"Tidak ada lain sesudah hak kecuali kesesatan." (Yunus: 32)
Maka kata Ibnu Hazm: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda
"Sesungguhnya semua perbuatan itu harus disertai dengan niat dan tiap-tiap orang akan dinilai menurut niatnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Jadi barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat untuk membantu bermaksiat kepada Allah, maka jelas dia adalah fasik --termasuk semua hal selain nyanyian. Dan barangsiapa berniat untuk menghibur hati supaya dengan demikian dia mampu berbakti kepada Allah dan tangkas dalam berbuat kebajikan, maka dia adalah orang yang taat dan berbuat baik dan perbuatannya pun termasuk perbuatan yang benar. Dan barangsiapa tidak berniat untuk taat kepada Allah dan tidak juga untuk bermaksiat, maka perbuatannya itu dianggap main-main saja yang dibolehkan, seperti halnya seorang pergi ke kebun untuk berlibur, dan seperti orang yang duduk-duduk di depan sofa sekedar melihat-lihat, dan seperti orang yang mengkelir bajunya dengan warna ungu, hijau dan sebagainya.
Namun di situ ada beberapa ikatan yang harus kita perhatikan sehubungan dengan masalah nyanyian ini, yaitu:
1. Nyanyian itu harus diperuntukkan buat sesuatu yang tidak bertentangan dengan etika dan ajaran Islam. Oleh karena itu kalau nyanyian-nyanyian tersebut penuh dengan pujian-pujian terhadap arak dan menganjurkan orang supaya minum arak, misalnya, maka menyanyikan lagu tersebut hukumnya haram, dan si pendengarnya pun haram juga. Begitulah nyanyian-nyanyian lain yang dapat dipersamakan dengan itu.
2. Mungkin subyek nyanyian itu sendiri tidak menghilangkan pengarahan Islam, tetapi cara menyanyikan yang dilakukan oleh si penyanyi itu beralih dari lingkungan halal kepada I;ngkungan haram, misalnya lenggang gaya dengan suatu kesengajaan yang dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah dan perbuatan cabul.
3. Sebagaimana agama akan selalu memberantas sikap berlebih-lebihan dan kesombongan dalam segala hal sampai pun dalam beribadah, maka begitu juga halnya berlebih-lebihan dalam hiburan dan menghabiskan waktu untuk berhibur, padahal waktu itu sendiri adalah berarti hidup!
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa berlebih-lebihan dalam masalah yang mubah dapat menghabiskan waktu untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban. Maka tepatlah kata ahli hikmah: "Tidak pernah saya melihat suatu perbuatan yang berlebih-lebihan, melainkan di balik itu ada suatu kewajiban yang terbuang."
4. Tinggal ada beberapa hal yang seharusnya setiap pendengarnya itu sendiri yang memberitahu kepada dirinya sendiri, yaitu apabila nyanyian atau satu macam nyanyian itu dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah serta nafsu kebinatangannya itu dapat mengalahkan segi rohaniahnya, maka dia harus menjauhi nyanyian tersebut dan dia harus menutup pintu yang dari situlah angin fitnah akan menghembus, demi melindungi hatinya, agamanya dan budi luhurnya. Sehingga dengan demikian dia dapat tenang dan gembira.
5. Di antara yang sudah disepakati, bahwa nyanyian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan haram lainnya seperti: di persidangan arak, dicampur dengan perbuatan cabul dan maksiat, maka di sinilah yang oleh Rasulullah s.a.w. pelakunya, dan pendengarnya diancam dengan siksaan yang sangat, yaitu sebagaimana sabda beliau:
"Sungguh akan ada beberapa orang dari ummatku yang minum arak, mereka namakan dengan nama lain, kepala mereka itu bisa dilalaikan dengan bunyi-bunyian dan nyanyian-nyanyian, maka Allah akan tenggelamkan mereka itu kedalam bumi dan akan menjadikan mereka itu seperti kera dan babi." (Riwayat Ibnu Majah)
Bukan merupakan kelaziman kalau mereka itu dirombak bentuk dan potongannya, tetapi apa yang dimaksud dirombak jiwanya dan rohnya. Bentuknya bentuk manusia tetapi jiwanya, jiwa kera dan rohnya roh babi.

TATHAYUR (merasa sial)

Tathayyur (Merasa Sial)
Merasa sial karena sesuatu, tempat, waktu, seseorang dan sebagainya adalah termasuk ramalan yang sangat laku di pasaran, secara berkelompok atau perorangan.
Di zaman dahulu pernah juga terjadi demikian, misalnya tentang kaum Nabi Saleh, mereka ini berkata kepadanya:
"Kami merasa sial sebab kamu dan orang-orang yang bersamamu." (an-Naml: 47)
Fir'aun dan kaumnya apabila ditimpa suatu musibah, mereka menganggap kesialannya itu karena Musa dan orang-orang yang bersamanya.
Dan banyak pula orang-orang kafir yang sesat itu kalau mendapat bala' dari Allah, mereka kemudian berkata kepada para juru da'wah dan Rasul:
"Kami merasa sial sebab kamu semua." (Yasin:18)
Tetapi para Rasul itu kemudian menjawab:
"Kesialanmu itu sebab kamu sendiri." (Yasin: 19)
Yakni sebab-sebab kesialanmu itu ada pada kamu sendiri, yaitu lantaran kamu kufur, ingkar dan memusuhi Allah dan RasulNya.
Orang-orang Arab jahiliah dalam segi ini mempunyai doa yang panjang dan bermacam-macam kepercayaan. Sehingga datanglah Islam kemudian dihapusnya dan mereka dikembalikan untuk mengikuti jalan fikiran yang lurus.
Rasulullah merangkaikan ramalan dan sihir dalam satu susunan, seperti sabdanya:
"Bukan dari golongan kami siapa yang merasa sial, atau minta diramalkan kesialannya, atau menenung, atau minta ditenungkan, atau mensihir, atau minta disihirkan." (Riwayat Thabarani)
Dan sabdanya pula:
"Membuat garis di tanah, menganggap sial karena alamat dan melempar kerikil karena ada suatu kepercayaan, adalah termasuk menyembah selain Allah." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Tathayyur, satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu pengetahuan atau suatu kenyataan yang benar. Tathayyur, hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan yang salah (waham). Kalau tidak demikian, apa artinya seorang yang berakal percaya mendapat sial karena seseorang, atau karena tempat, karena dengkurnya suara burung, geraknya mata atau terdengarnya suatu perkataan?!
Apabila nalurinya manusia itu ada kelemahan, maka akan mengalir pada dirinya suatu anggapan sial karena sesuatu. Seharusnya dia tidak mau menerima kelemahan ini. Lebih-lebih apabila dia sudah sampai pada fase bekerja dan pelaksanaan.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Ada tiga perkara yang tidak akan bisa selamat satupun, yaitu: menuduh, tathayyur dan hasud. Oleh karena itu kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau merasa sial jangan surut (jangan kamu gagalkan pekerjaanmu), dan kalau kamu hasud, jangan lanjutkan." (Riwayat Thabarani)
Oleh karena ketiga perkara ini hanya semata-mata perasaan yang tidak berpengaruh pada suatu sikap dan perbuatan, maka dimaafkannya oleh Allah.
Dan diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tathayyur (merasa sial) adalah syirik." 3 kali.
Dan Ibnu Mas'ud sendiri berkata: " ...tetapi Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas'ud itu, ialah: setiap orang di antara kita ini ada perasaan-perasaan seperti itu, tetapi perasaan semacam ini akan hilang lenyap dari hati orang yang selalu tawakkal dan tidak membiarkan perasaannya itu tinggal dalam hati.

SUAMI ISTRI HARUS SABAR

Suami-Isteri Harus Sabar
Seorang suami harus berlaku sabar terhadap isterinya jika ada sesuatu pelayanan isteri yang kurang menyenangkan, sedang dia telah mengetahui kelemahan isterinya sebagai seorang perempuan di mana dia sebagai manusia biasa tidak luput dari kekurangan. Sedang di balik kesalahan dan kekurangan itu, isteri juga mempunyai kebaikan-kebaikan dan kelebihan-kelebihan.
Di dalam salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Seorang mu'min (suami) tidak boleh membenci seorang mu'minah (isteri), jika dia tidak menyukai lantaran sesuatu perangainya, maka dia akan senang pada perangainya yang lain." (Riwayat Muslim)
"Dan pergaulilah isterimu dengan cara yang baik maka jika kamu tidak menyukainya barangkali sesuatu yang kamu tidak sukainya itu justru Allah akan menjadikan padanya kebaikan yang sangat banyak." (an-Nisa': 19)
Sebagaimana suami disuruh sabar terhadap sesuatu yang tidak disukainya dari isterinya, maka begitu juga seorang isteri diperintah supaya memberi kesenangan kepada suaminya semampu mungkin, dan jangan sampai seorang isteri tidur malam sedang suaminya dalam keadaan marah. Dalam hadis Nabi dikatakan:
"Ada tiga orang yang sembahyangnya itu tidak dapat melebihi kepalanya walaupun hanya sejengkal, yaitu: 1) Seorang laki-laki yang menjadi imam pada suatu kaum sedang kaum itu tidak suka, 2) Seorang perempuan yang tidur malam sedang suaminya murka kepadanya. 3) Dua saudara yang saling bermusuhan." (Riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Ketika Nusyuz dan Bersengketa
Karena seorang laki-laki adalah kepala rumahtangga sebagai konsekuensi yang diperolehnya karena dialah pembinanya, mempersediakannya, meletakkan rumahtangga ini dalam kehidupan, membayar mahar dan memberi nafkah, maka seorang isteri tidak diperkenankan menentang suami dan lari dari kekuasaan suami. Hal mana akan merusak persekutuan dan akan menggoncangkan bahtera rumahtangga, bahkan mungkin akan menenggelamkannya selama rumahtangga itu tidak ada pengemudinya.
Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang bijaksana.
Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar instink kewanitaannya itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.
Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat tertentu.
Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari apa yang dikatakan Nabi kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan sebagai berikut:
"Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak di hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini." (Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)
Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:
"Mengapa salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti memukul seorang hamba, padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di hari lain?!" (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip dengan itu)
Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang baik di antara kamu." (Hadis ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi Dzubab)
Ibnu Hajar berkata: "Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara kamu tidak akan memukul ini menunjukkan, bahwa secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.
Imam Nasa'i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a' sebagai berikut:
"Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri, melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah."
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan mengutus seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang baik demi meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah memberikan taufik kepada kedua suami-isteri.
Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
"Dan perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur, dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari jalan untuk menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari keluarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 34-35)

SIHIR

Sihir
Justru itu pula Islam menentang keras perbuatan sihir dan tukang sihir.
Tentang orang yang belajar ilmu sihir, al-Quran mengatakan:
"Mereka belajar suatu ilmu yang membahayakan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat buat mereka." (al-Baqarah: 102)
Rasulullah s.a.w. menilai sihir sebagai salah satu daripada dosa besar yang bisa merusak dan menghancurkan sesuatu bangsa sebelum terkena kepada pribadi seseorang, dan dapat menurunkan derajat pelakunya di dunia ini sebelum pindah ke akhirat. Justru itu Nabi bersabda:
"Jauhilah tujuh perkara besar yang merusak. Para sahabat bertanya: Apakah tujuh perkara itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi, yaitu: 1) menyekutukan Allah; 2) sihir; 3) membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan kecuali karena hak; 4) makan harta riba; 5) makan harta anak yatim, 6) lari dari peperangan; 7) menuduh perempuan-perempuan baik, terjaga dan beriman." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sebagian ahli fiqih menganggap, bahwa sihir itu berarti kufur, atau membawa kepada kufur.
Sementara ada juga yang berpendapat: ahli sihir itu wajib dibunuh demi melindungi masyarakat dari bahaya sihir.
Al-Quran juga telah mengajar kita supaya kita suka berlindung diri kepada Allah dari kejahatan tukang sihir, yaitu firmanNya:
"(Dan aku berlindung diri) dari kejahatan tukang meniup simpul." (al-Falaq: 4)
Peniup simpul salah satu cara dan ciri yang dilakukan ahli-ahli sihir. Dalam salah satu hadis dikatakan:
"Barangsiapa meniup simpul, maka sungguh ia telah menyihir, dan barangsiapa menyihir maka sungguh dia telah berbuat syirik." (Riwayat Thabarani dengan dua sanad; salah satu rawi-rawinya kepercayaan)
Sebagaimana halnya Islam telah mengharamkan pergi ke tempat dukun untuk menanyakan perkara-perkara ghaib, maka begitu juga Islam mengharamkan perbuatan sihir atau pergi ke tukang sihir untuk mengobati suatu penyakit yang telah dicobakan kepadanya, atau untuk mengatasi suatu problema yang dideritanya. Cara-cara semacam ini tidak diakuinya oleh Nabi sebagai golongannya. Sebagaimana sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami, barangsiapa yang menganggap sial karena alamat (tathayyur) atau minta ditebak kesialannya dan menenung atau minta ditenungkan, atau menyihir atau minta disihirkan." (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik)
Ibnu Mas'ud juga pernah berkata:
"Barangsiapa pergi ke tukang ramal, atau ke tukang sihir atau ke tukang tenung, kemudian ia bertanya dan percaya terhadap apa yang dikatakannya, maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w." (Riwayat Bazzar dan Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dan bersabda pula Rasulullah s.a.w.:
"Tidak akan masuk sorga pencandu arak, dan tidak pula orang yang percaya kepada sihir dan tidak pula orang yang memutuskan silaturrahmi." (Riwayat Ibnu Hibban)
Haramnya sihir di sini tidak hanya terbatas kepada si tukang sihirnya saja, bahkan meliputi setiap yang percaya kepada sihir dan percaya kepada apa yang dikatakan oleh si tukang sihir itu.
Lebih hebat lagi haram dan kejahatannya apabila sihir itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang haram, seperti menceraikan antara suami-isteri, mengganggu seseorang dan sebagainya yang biasa dikenal di kalangan ahli-ahli sihir.

POLIGAMI

POLIGAMI
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah yang kami saksikan dengan gamblang dalam hubungannya dengan masalah poligami.
Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam membolehkan kawin lebih dari seorang.
Kebanyakan ummat-ummat dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus tanpa suatu syarat dan ikatan. Maka setelah Islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat. Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayatnya Ghailan:
"Sesungguhnya Ghailan ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh isteri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain." (Riwayat Ahmad, Syafi'i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)
Sementara ada juga yang mempunyai isteri delapan11 dan ada juga yang lima.12 Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi supaya memilih empat saja.
Adapun kawinnya Nabi sampai sembilan orang itu adalah khususiyah buat Nabi karena ada suatu motif da'wah dan demi memenuhi kepentingan ummat kepada isteri-isteri Nabi itu sepeninggal beliau.
Adil Adalah Syarat Dibolehkan Poligami
Syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kawin lebih dari seorang.
Firman Allah:
"Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja." (an-Nisa': 3)
Dan bersabda Rasulullah s.a.w.:
"Barangsiapa mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring." (Riwayat Ahlulsunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak isteri, bukan semata-mata kecenderungan hati. Sebab kecenderungan hati termasuk suatu keadilan yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Allah memberikan maaf dalam hal tersebut. Seperti tersebut dalam firmanNya:
"Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu sekalipun kamu sangat berkeinginan, oleh karena itu janganlah kamu terlalu condong." (an-Nisa': 129)
Oleh karena itu pula setelah Rasulullah membagi atau menggilir dan melaksanakan keadilannya, kemudian beliau berdoa:
"Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan." (Riwayat Ashabussunan)
Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu kecenderungan kepada salah satu isterinya.Nabi sendiri kalau hendak bepergian, ia mengadakan undian. Siapa mendapat bagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi. Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya persetujuan oleh semuanya.
Hikmah Dibolehkannya Poligami
Islam adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh karena itu layak kalau ia datang dengan membawa undang-undang yang komplit, abadi dan universal. Berlaku untuk semua daerah, semua masa dan semua manusia.
Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa-masa lainnya serta generasi mendatang.
Islam telah menentukan keperluan perorangan dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi sayang isterinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak. Bukankah suatu kehormatan bagi si isteri dan keutamaan bagi si suami kalau dia kawin lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri pertama dengan memenuhi hak-haknya?
Sementara ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu seks yang luarbiasa, tetapi isterinya hanya dingin saja atau sakit, atau masa haidhnya itu terlalu panjang dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih banyak seperti orang perempuan. Apakah dalam situasi seperti itu si laki-laki tersebut tidak boleh kawin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat mencari kawan tidur?
Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, lebih-lebih karena akibat dari peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang tidak hidup sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.
Ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi sebagai akibat banyaknya laki-laki yang mampu kawin, yaitu:
1.Mungkin orang-orang perempuan itu akan hidup sepanjang umur dalam kepahitan hidup.
2.Mungkin mereka akan melepaskan kendalinya dengan menggunakan obat-obat dan alat-alat kontrasepsi untuk dapat bermain-main dengan laki-laki yang haram.
3.Atau mungkin mereka mau dikawini oleh laki-laki yang sudah beristeri yang kiranya mampu memberi nafkah dan dapat bergaul dengan baik.
Tidak diragukan lagi, bahwa kemungkinan ketiga adalah satu-satunya jalan yang paling bijaksana dan obat mujarrab. Dan inilah hukum yang dipakai oleh Islam, sedang "Siapakah hukumnya yang lebih baik selain hukum Allah untuk orang-orang yang mau beriman?" (al-Maidah: 50)
Inilah sistem poligami yang banyak ditentang oleh orang-orang Kristen Barat yang dijadikan alat untuk menyerang kaum Muslimin, di mana mereka sendiri membenarkan laki-lakinya untuk bermain dengan perempuan-perempuan cabul, tanpa suatu ikatan dan perhitungan, betapapun tidak dibenarkan oleh undang-undang dan moral. Poligami liar dan tidak bermoral ini akan menimbulkan perempuan dan keluarga yang liar dan tidak bermoral juga. Kalau begitu manakah dua golongan tersebut yang lebih kukuh dan lebih baik?

PINANGAN YANG DIHARAMKAN

PINANGAN YANG DIHARAMKAN

Seorang muslim tidak halal mengajukan pinangannya kepada seorang perempuan yang ditalak atau yang ditinggal mati oleh suaminya selama masih dalam iddah. Karena perempuan yang masih dalam iddah itu dianggap masih sebagai mahram bagi suaminya yang pertama, oleh karena itu tidak boleh dilanggar. Akan tetapi untuk isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, boleh diberikan suatu pengertian --selama dia masih dalam iddah-- dengan suatu sindiran, bukan dengan terang-terangan, bahwa si laki-laki tersebut ada keinginan untuk meminangnya.

Firman Allah:
"Tidak berdosa atas kamu tentang apa-apa yang kamu sindirkan untuk meminang perempuan." (al-Baqarah: 235)

Dan diharamkan juga seorang muslim meminang pinangan saudaranya kalau ternyata sudah mencapai tingkat persetujuan dengan pihak yang lain. Sebab laki-laki yang meminang pertama itu telah memperoleh suatu hak dan hak ini harus dipelihara dan dilindungi, demi memelihara persahabatan dan pergaulan sesama manusia serta menjauhkan seorang muslim dari sikap-sikap yang dapat merusak identitas. Sebab meminang pinangan saudaranya itu serupa dengan perampasan dan permusuhan.
Tetapi jika laki-laki yang meminang pertama itu sudah memalingkan pandangannya kepada si perempuan tersebut atau memberikan izin kepada laki-laki yang kedua, maka waktu itu laki-laki kedua tersebut tidak berdosa untuk meminangnya. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w. yang mengatakan sebagai berikut:

"Seorang mu'min saudara bagi mu'min yang lain. Oleh karena itu tidak halal dia membeli pembelian kawannya dan tidak pula halal meminang pinangan kawannya." (Riwayat Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Seorang laki-laki tidak boleh meminang pinangan laki-laki lain, sehingga peminang pertama itu meninggalkan (membatalkan) atau mengizinkannya." (Riwayat Bukhari)

PERSAMAAN PEMBERIAN PADA ANAK

Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak
Seorang ayah harus menyamakan antara anak-anaknya dalam pemberian, sehingga dengan demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah dengan lama.
Di samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan pemberiannya kepada salah seorang di antara mereka tanpa ada suatu kepentingan yang sangat, sebab yang demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain dan akan mengobarkan api permusuhan dan kebencian sesama mereka.
Ibu dalam hal ini sama dengan ayah.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Berlaku adillah kamu terhadap anak-anakmu." 3 kali. (Riwayat Ahmad, Nasa'i dan Abu Daud)
Kisah timbulnya hadis ini adalah sebagai berikut: Isteri Basyir bin Saad al-Ansari meminta kepada suaminya supaya memberikan harta dengan istimewa kepada anaknya yang bernama Nu'man --berupa kebun dan hamba-- dan ia bermaksud akan mengkukuhkan hibah ini dan ia minta kepada Basyir supaya disaksikan oleh Nabi s.a.w. Kemudian pergilah Basyir kepada Nabi dan berkata:
"Ya Rasulullah! Anak perempuan si fulan (isteriku) minta kepadaku supaya aku memberikan hambaku kepada anaknya. Kemudian Nabi bertanya: Apakah dia mempunyai saudara? Ia menjawab: Ya. Nabi bertanya lagi: Apakah semuanya kamu beri seperti apa yang kamu berikan kepadanya? Ia menjawab: Tidak! Kemudian Nabi bersabda: Yang demikian ini tidak baik, dan saya sendiri tidak akan mau menjadi saksi kecuali pada hal yang baik." (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daud)
Dalam satu riwayat dikatakan oleh Nabi:
"Jangan kamu jadikan aku untuk menyaksikan sesuatu dosa. Sesungguhnya anakmu mempunyai hak yang harus kamu tunaikan, yaitu hendaknya kamu berlaku adil di antara mereka; sebagaimana kamu mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh anak-anakmu, yaitu hendaknya mereka itu berbuat baik kepadamu." (Riwayat Abu Daud)
Dan dikatakan pula oleh Nabi:
"Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa melebihkan itu diperbolehkan jika ada sebab, misalnya si anak sangat membutuhkan karena suatu kesengsaraan dan sebagainya yang tidak diderita oleh saudara-saudaranya yang lain.

PERHIASAN YANG BOLEH TAMPAK

PERHIASAN PEREMPUAN YANG BOLEH TAMPAK DAN YANG TIDAK BOLEH

Ini ada hubungannya dengan masalah menundukkan pandangan yang oleh dua ayat di surah an-Nur 30-31, Allah perintahkan kepada laki-laki dan perempuan.
Adapun yang khusus buat orang perempuan dalam ayat kedua (ayat 31) yaitu:

Firman Allah:
"Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya."

Yang dimaksud perhiasan perempuan, yaitu apa saja yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, ataupun buatan seperti pakaian, perhiasan, make-up dan sebagainya.
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut dan melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan pengecualian, melainkan apa yang bisa tampak. Oleh karena itu para ulama kemudian berbeda pendapat tentang arti apa yang biasa tampak itu dan ukurannya. Apakah artinya: apa yang tampak karena terpaksa tanpa disengaja, misalnya terbuka karena ditiup angin; ataukah apa yang biasa tampak dan memang dia itu asalnya tampak?
Kebanyakan ulama salaf berpendapat menurut arti kedua, Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan apa yang tampak itu ialah: celak dan cincin.
Yang berpendapat seperti ini ialah sahabat Anas. Sedang bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh dilihatnya kedua tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak tangan. Demikianlah apa yang ditegaskan oleh Said bin Jubair, 'Atha', Auza'i dan lain-lain.
Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain menisbatkan dua gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan demikian, maka sebagian lengan ada yang dikecualikan. Tetapi tentang batasnya dari pergelangan sampai siku, masih diperselisihkan.
Di samping satu kelonggaran ini, ada juga yang mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas'ud dan Nakha'i. Kedua beliau ini menafsirkan perhiasan yang boleh tampak, yaitu selendang dan pakaian yang biasa tampak, yang tidak mungkin disembunyikan.
Tetapi pendapat yang kami anggap lebih kuat (rajih), yaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada wajah dan dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan, seperti celak di mata dan cincin pada tangan. Begitulah seperti apa yang ditegaskan oleh sekelompok sahabat dan tabi'in.3
Ini tidak sama dengan make-up dan cat-cat yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk mengecat pipi dan bibir serta kuku. Make-up ini semua termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab perempuan-perempuan sekarang memakai itu semua di luar rumah, adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi jelas hukumnya adalah haram.
Sedang penafsiran apa yang tampak dengan pakaian dan selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab itu termasuk hal yang lumrah (tabi'i) yang tidak bisa dibayangkan untuk dilarangnya sehingga perlu dikecualikan. Termasuk juga terbukanya perhiasan karena angin dan sebagainya yang boleh dianggap darurat. Sebab dalam keadaan darurat, bukan suatu yang dibuat-buat. Jadi baik dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat diterima akal apa yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah (keringanan) dan justru untuk mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan sesuatu yang mungkin disembunyikan; dan ma'qul sekali (bisa diterima akal) kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.
Adanya kelonggaran pada muka dan dua taak tangan, adalah justru menutupi kedua anggota badan tersebut termasuk suatu hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau mereka perlu bepergian atau keluar yang sangat menghajatkan, misalnya dia orang yang tidak mampu. Dia perlu usaha untuk mencari nafkah buat anak anaknya, atau dia harus membantu suaminya. Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar dan menutup kedua tangannya adalah termasuk menyakitkan dan menyusahkan perempuan.
Imam Qurthubi berkata: "Kalau menurut ghalibnya muka dan dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat ataupun dalam ibadat, seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak kiranya kalau pengecualian itu kembalinya kepada kedua anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini ialah hadis riwayat Abu Daud dari jalan Aisyah r.a., bahwa Asma' binti Abubakar pernah masuk ke rumah Nabi s.a.w. dengan berpakaian tipis, kemudian Nabi memalingkan mukanya sambil ia berkata: "Hai Asma'! Sesungguhnya perempuan apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah baligh) tidak patut dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya."
Sedang firman Allah yang mengatakan: "Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki supaya menundukkan pandangan" itu memberikan suatu isyarat, bahwa muka perempuan itu tidak tertutup. Seandainya seluruh tubuh perempuan itu tertutup termasuk mukanya, niscaya tidak ada perintah menundukkan sebagian pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu dilihat sehingga memerlukan menundukkan pandangan.
Namun, kiranya sesempurna mungkin seorang muslimah harus bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan perhiasannya, termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga meluasnya kerusakan dan banyaknya kefasikan di zaman kita sekarang ini. Lebih-lebih kalau perempuan tersebut mempunyai paras yang cantik yang sangat dikawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Firman Allah:
"Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya." (an-Nur: 31)

Pengertian khumur (kudung), yaitu semua alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut juyub kata jama' (bentuk plural) dari kata jaibun, yaitu belahan dada yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian/baju.
Setiap perempuan muslimah harus menutup kepalanya dengan kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi dan iseng.

Firman Allah:
"Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya." (an-Nur: 31)
Pengarahan ini tertuju kepada perempuan-perempuan mu'minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya: perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk); perhiasan leher (kalung), perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang kaki). Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.

LARANGAN INI DIKECUALIKAN UNTUK 12 ORANG:
1.Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang mengatakan:
"Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu."
2.Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah ataupun ibu.
3.Ayah mertua. Karena mereka ini sudah dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.
4.Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.
5.Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut.4
6.Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu.
7.Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh dikawin.
8.Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang rajih.
9.Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba laki-laki.
10.Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini haram dikawin untuk selamanya.
11.Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi karena masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut dan tidak bersyahwat.
12.Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.

Dalam ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman, baik dari pihak ayah ('aam) atau dari pihak ibu (khal), karena mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan dalam hadis Nabi:
"Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri." (Riwayat Muslim).